Irfad Faiq Abdillah. Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 22 Mei 2011

konstruktivisme


Menurut kaum konstruktivis (Suparno, 1997) belajar merupakan suatu proses aktif siswa mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan suatu proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu. Siswa harus mendapatkan pengalaman berhipotesis dan memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, berimajinasi, meneliti dan menemukan, dalam upaya mengembangkan konstruk-konstruk baru.
Selanjutnya Sagala (2003) menyatakan bahwa Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Dari sini jelas diperlukan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, dengaan model instruksional yang aktif. Siswa harus membangun pengetahuannya secara aktif dan guru berperan sebagai mediator yang baik.
Menurut model konstruktivis, pengetahuan dibangun di dalam pikiran siswa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam menyusun pengertian, siswa tidak dapat melakukannya secara sederhana dengan merefleksikan apa yang diberitahukan kepada mereka atau apa yang mereka baca. Siswa mencari makna dan akan mencoba untuk menemukan regularitas dan urutan dalam kejadian-kejadian dalam dunia meski informasi-informasinya tidak lengkap.
Fosnot (2003) mengemukakan empat prinsip dasar konstruktivisme sebagai berikut:
a. Pengetahuan terdiri dari konstruksi masa silam (past construction). Kita mengkonstruksi pengalaman kita tentang dunia obyek dengan memandang melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi pengalaman kita. Fosnot juga mengemukakan doktrin Piaget bahwa struktur-struktur logis itu berkembang melalui suatu proses regulasi diri yang analog dengan perkembangan biologis.
b. Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui asimilasi dan akomodasi. Kita menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam rangka menginter pretasi informasi baru, dan akomodasi dalam rangka memecahkan konradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas.
c. Mengacu kepada belajar sebagai suatu proses organik dalam penemuan, lebih daripada suatu proses mekanik dalam mengakumulasi. Konstruktivisme mengambil posisi bahwa siswa harus mendapat pengalaman berhipotesis dan memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, berimajinasi, meneliti dan menemukan, dalam upaya mengembangkan konstruk-konstruk baru. Dari perspektif ini, jelas diperlukan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, dengan model instruksional yang aktif. Siswa harus membangun pengetahuannya secara aktif dan guru berperan sebagai mediator yang kreatif.
d. Mengacu kepada mekanisme yang memungkinkan berlangsungnya perkembangan kognitif. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi dan pemecahan konflik kognitif. Fosnot menekankan bahwa konflik kognitif terjadi hanya jika siswa mengalami ketidaksesuaian antara dua skemata yang kontradiktif. Fosnot juga menekankan bahwa meskipun guru dapat membantu untuk menengahi proses tersebut, namun perubahan hanya dapat terjadi atas inisiatif siswa.