Irfad Faiq Abdillah. Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 06 Januari 2012

MENDIDIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


PENDAHULUAN

Anak merupakan anugerah terbesar bagi setiap pasangan suami istri. Anak merupakan bukti sekaligus pengikat cinta kasih, tujuan dari kehidupan orang tua, dan tempat harapan disematkan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila setiap orang tua berharap anaknya lahir tumbuh kembang sebagai anak yang sehat dan pintar.
Anak lahir atau tumbuh dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda dengan anak kebanyakan, dalam arti memiliki keterbatasan. Laporan WHO (2007) menyebutkan, anak-anak dengan keterbatasan ini jumlahnya diperkirakan  mencapai 7% dari populasi anak, dan 85% darinya berada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001, anak-anak itu mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk.
Kesempatan pendidikan yang diberikan bagi mereka sangat sangatlah terbatas. Perlakuan khusus yang tentu memerlukan biaya besar membuat akses pendidikan yang memadai bagi mereka tidak terjangkau oleh para orang tua. Sayangnya penyebaran kecacatan lebih banyak terjadi pada menengah bawah akibat rendahnya asupan gizi dan pengetahuan kesehatan. Sedangkan pendidikan khusus semacam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diadakan pemerintah cenderung ala kadarnya dalam pengelolaan akibat rendahnya dana subsidi pemerintah.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
A.    Rumusan masalah
1.      Bagaimana pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus (cacat)?
2.      Apa pengertian pendidikan inklusi
B.     tujuan makalah
1.      mengetahui pendidikan bagi anak yang mempunya kebutuhan khusus (cacat)
2.      mengerti apa yang disebut pendidikan inklusi
PEMBAHASAN

A.    pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
Sejarah mencatat, diawali saat mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak tersebut. Beberapa di antara sekolah atau pun rumah-rumah tersebut hanya menyediakan akomodasi yang sangat minim, meskipun  ada pula yang dilengkapi dengan fasilitas lebih dari memadai yang terletak di daerah yang indah. Namun tempat-tempat ini sering terisolasi dan tersembunyi dari pandangan masyarakat umum.
Pada tanggal 30 Maret 2007 lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, bersama lebih dari 80 negara lain, menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban negara untuk mewujudkannya.
Banyak masalah ternyata timbul dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini. Itu semua membuat anak-anak  menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang, internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.
Yang menjadi masalah terbesar adalah pendekatan segregasi yang berpusat pada institusi (Institution Based Rehabilitation) tidak mampu menjangkau lebih dari 5% populasi anak berkebutuhan khusus. Faktor biaya tinggi dan kesulitan orang tua memenuhinya menjadi alasan banyak orang tua tidak memilih memasukkan anaknya ke sekolah khusus ini.
Masalah lainnya lahir sebagai dampak dari titik pandang dimana anak-anak ini dilihat sebagai anak yang berkekurangan dan terbatas kemampuannya. Sehingga dasar intervensi adalah bagaimana menutupi kekurangan anak yang selamanya memang tidak akan mungkin tertutupi karena memang terbatas. Sebagai contoh seringkali intervensi terhadap anak-anak tuna netra ditekankan pada bagaimana sedapat mungkin anak ini bisa membaca huruf braille. Itu dilakukan agar ia bisa belajar sebagaimana anak yang bisa melihat dan kemudian dibekali ketrampilan pijat sebagai ketrampilan yang dirasa masih bisa dimiliki anak-anak ini. Cara ini memandang sebelah mata  potensi dan minat nyata anak itu sendiri. Cara pandang yang lebih fokus pada keterbatasan anak dan tidak menghargai potensi positif anak ini pada akhirnya gagal memberdayakan anak.
Banyaknya masalah yang terjadi pada model intervensi segregasi membawa pada pemikiran tentang perubahan paradigma, kesadaran, arah tujuan, serta metode. Perubahan paling mendasar adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda.
B.     Paradigma inklusi dengan pendekatn social needs education
Melalui konsep ini, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually adjusted education) termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Untuk ini diperlukan kemauan mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan, aktivitas serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang dan dalam hal ini dipersyaratkan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas dari konsep pendidikan itu sendiri.
Salah satu yang patut dihargai dlam program yang dicanangkan sekarang adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain sebayanya, tidak harus di SLB. Namun demikian, masih banyak masalah ataupun kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya sistem assessment anak berkebutuhan khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak berkebutuhan khsusus (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik, secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.
Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional. Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”, terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
Sering alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat karena keengganan untuk repot. Padahal  alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum  pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains, humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing. Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Pendidikan inklusi membutuhkan kurikulum yang sensitif dan luwes. Sebuah kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi setiap siswa sepenuhnya (special needs education). Diawali dengan penyediaan beragam aktifitas dan fasilitas untuk eksplorasi potensi dan minat anak untuk kemudian selanjutnya memberikan pengajaran yang mengarahkan pada pengembangan potensi. Sehingga anak akan cukup memiliki harga diri karena memiliki sebuah kemampuan. Harapannya, anak bisa mandiri dengan kemampuan yang ia milikinya kelak.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.
            Melalui pendekatan inklusi, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually adjusted education) termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus.
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah mencatat, diawali saat mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak tersebut.
Banyak masalah ternyata timbul dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini. Itu semua membuat anak-anak  menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang, internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.
Melalui konsep ini, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually adjusted education) termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.

Selasa, 03 Januari 2012

EVALUASI PEMBELAJARAN


Definisi Evaluasi, Pengukuran, Nilai, Tes, Tester dan Assesmentn
1. Evaluasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sistematik dalam menentukan tingkat pencapaikan tujuan oleh siswa (Norman E. Gronlund).
2. Evaluasi berkenaan dengan kegiatan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu (Edwin Wand dan Gerald W. Brown)
3. Evaluasi adalah pernyataan bahwa sesuatu itu mempunyai nilai atau tidak (Witherington).
4. Evaluasi diartikan sebagi penentuan kesesuaian antara tampilan dengan tujuan-tujuan.
Dari pengertian-pengertian evaluasi yang telah dikemukakan di atas menunjukan bahwa evaluasi sifatnya lebih luas daripada pengukuran. Evaluasi meliputi aspek kuintatif dan kualitatif. Pengukuran hanya terbatas pada deskripsi kuantitatif, sedagkan evaluasi selain menyangkut pengukuran tersebut berlanjut dengan pemberian nilai (valuing) berupa keputusan-keputusan maupun nilai tingkah laku yang diukur. Istilah pengukuran (measurement) menunjuk pada segi kuantitas (how much), istilah penilaian menunjuk pada segi kualitas (what value), istilah evaluasi berkenaan dengan keduanya, yaitu pengukuran dan penilaian. Evaluasi tidak hanya menyangkut gambaran tingkah laku secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Dalam evaluasi terkandung makna pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan penilaian bersifat kualitatif.
Antara evaluai, pengukuran dan penilaian terdapat hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Norman E. Gronlund melukiskan hubungan ketiganya sebagai berikut.
1. Evaluasi adalah deskripsi kuantitatif siswa (measurement, pengukuran) yang ditetapkan dengan penentuan nilai.
2. Evaluasi adalah deskripsi kualitatif siswa (judgement, pertimbangan, penilaian) yang ditetapkan dengan penentua nilai.
Sehingga evaluasi dapat ditentukan dengan melalui pengukuran dan bisa pula tanpa melalui pengukuran.
Istilah mengukur (to measure) adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran tertentu, sedangkan menilai (to value, to judge) adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk atau kategori lainnya.
Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematik dan obyektif untuk memperoleh data atau keterangan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat atau tidak tepat. (Indrakusumahh). Sehingga tes adalah alat untuk pengumpul informasi tentang hasil belajar. Sedangkan tester atau penguji adalah orang yang diserahi untuk melaksanakan tes tersebut.
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran, edangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Evaluasi mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Tujuan evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai pendidikan, sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya. Dalam proses penilaian, dilakukan perbandingan antara informasi-informasi yang telah berhasil dihimpun dengan kriteria tertentu, untuk kemudian diambil keputusan atau dirumuskan kebijakan tertentu. Kriteria atau tolak ukur yang dipegang tidak lain adalah tujuan yang sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum kegiatan pendidikan itu dilaksanakan.
Dari aspek pelaksanaan, Evaluasi adalah keseluruhan kegiatan pengumpulan data dan informasi, pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Evaluasi adalah proses memahami atau memberi arti, mendapatkan dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi petunjuk pihak-pihak pengambil keputusan. Secara rinci dapat disampaikan.
1) Evaluasi ialah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya yang bersangkutan dengan kababilitas siswa, guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar.
2) Dalam rangka pengembangan sistem instruksional, evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk menilai seberapa jauh program telah telah berjalan seperti yang telah direncanakan.
3) Evaluasi sebagai suatu alat untuk menentukan apakah tujuan pendidikan dan apakah proses dalam pengembangan ilmu telah berada dijalan yang diharapkan.
Evaluasi adalah suatu kegiatan yang direncanakan dengan cermat dan merupakan bagian yang integral dari kegiatan program/pendidikan. Evaluasi merupakan proses yang sistematis mulai dari menentukan tujuan (objektif) sampai menentukan keputusan, dimana prosesnya diawali dengan menentukan sasaran (objek) yang akan dievaluasi, menentukan instrumen (alat ukur), cara mengukur, mencatat data, menganalisis, menginterpretasi hasil analisis, mengambil kesimpulan dan menetapkan keputusan.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian evaluasi adalah:
1) Merupakan suatu kegiatan yang direncanakan dengan cermat.
2) Kegiatan yang dimaksud merupakan bagian yang integral dari pendidikan, sehingga arah dan tujuan evaluasi harus sejalan dengan tujuan pendidikan.
3) Evaluasi harus memiliki dan berdasarkan kriteria keberhasilan yaitu keberhasilan dari: a) Belajar murid, b) Mengajar guru, dan c) Program pengajaran.
4) Evaluasi merupakan suatu tes maka evaluasi dilaksanakan sepanjang kegiatan program pendidikan dan pengajaran.
5) Evaluasi bernilai positif, yaitu mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar siswa, kemampuan mengajar guru serta menyempurnakan program pengajaran.
6) Evaluasi merupakan alat (the means) bukan tujuan (the end) yang digunakan untuk menilai apakah proses perkembangan telah berjalan semestinya?
7) Evaluasi adalah bagian yang sangat penting dalam suatu sistem yaitu sistem pengajaran untuk mengetahui apakah sistem itu baik / tidak.
Berdasarkan beberapa rumusan di atas dapat didefinisikan bahwa evaluasi merupakan serangkaian kegiatan yang sistematis yang dilakukan dalam rangka untuk mengetahui apakah suatu kegiatm pendidikan telah berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan atau belum. Teknis pelaksanaan evaluasi meliputi penetapan objek yang akan dievaluasi, menentukan instrumen yang cocok dengan apa yang akan dievaluasi, melakukakn pengukuran terhadap objek evaluasi, mengumpulkan data hasil pengukuran data mengolah data yang didapatkan dari basil pengukuran. Berdasarkakn data pengukuran dapat dijadikan babagai rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan keputusan.

Pengertian, Hubungan, Perbedaan, dan Etika Tes, Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi

Untuk lebih lengkapnya download di sini dengan format *.doc

BAB I
PENGERTIAN TES, PENGUKURAN, PENILAIAN, DAN EVALUASI

A. PENGERTIAN TES
Tes dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan atau tugas atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait (sifat) atau atribut pendidikan atau psikologik yang setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar.

Tes dapat diklasifikasi berdasarkan :

a. Bagaimana ia diadministrasikan (tes individual atau kelompok)
b. Bagaimana ia diskor (tes obyektif atau tes subyektif)
c. Respon apa yang ditekankan (tes kecepatan atau tes kemampuan)
d. Tipe respon yang bagaimana yang harus dikerjakan oleh subyek (tes unjuk kerja atau tes kertas dan pensil)
e. Apa yang akan diukur (tes sampel atau tes sign)
f. Hakekat dari kelompok yang akan diperbandingkan (tes buatan guru atau tes baku)

B. PENGERTIAN PENGUKURAN
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numeric dari suatu tingkatan dimana seseorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu. Pengukuran berkaitan erat dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif.
Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas.
Berikut ini akan dikutip beberapa definisi pengukuran yang dirumuskan oleh beberapa ahli pengukuran pendidikan dan psikologi yang acap kali dijadikan acuan beberapa penulis

a. Richard H. Lindeman (1967) merumuskan pengukuran sebagai “the assignment of one or a set each of a set of persons or objects according to certain established rules”
b. Norman E. Gronlund (1971) secara sederhana merumuskan pengukuran sebagai “Measurement is limited to quantitative descriptions of pupil behavior”.
c. Georgia S. Adams (1964) merumuskan pengukuran sebagai “nothing more than careful observations of actual performance under staandar conditions”.
d. Victor H.Noll (1957) mengemukakan dua karakteristik utama pengukuran, yaitu “quantitativaness” dan “constancy of units”. Atas dasar dua karakteristik ini ia menyatakan “since measurement is a quantitative process, is results of measurement are always expessed in numbers.
e. William A.Mehrens dan Irlin J. Lehmann (1973) mendefinisikan : pengukuran sebagai berikut : “Using observations, rating scales. Or any other device that allows us to obtain information in a quantitative form is measurement” .
f. Robert L. Ebel dan David A. Frisbie (1986) merunuskan pengkuran sebagai “Measurment is a process of assigning numbers to the individual numbers of a set of objects or person for the purpose of indicating differences among them in the degree to which they posscess the characteristic being measured.
g. Gilbert Sax (1980) menyatakan “measurement: The assignment of numbers to attributes of characteristics of person, evenrs, or object according to explicit formulations or rules”.

C. PENGERTIAN PENILAIAN
Penilaian (assessment) merupakan istilah yang umum dan mencakup semua metode yang biasa dipakai untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa dengan cara menilai unjuk kerja individu peserta didik atau kelompok.
Penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat. Penilaian untuk memperoleh berbagai ragam informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau informasi tentang ketercapaian kompetensi peserta didik. Proses penilaian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar peserta didik.
Penilaian menyeluruh dan berkelanjutan dalam Konsep Penilaian dari Implementasi peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, membawa implikasi terhadap model dan tehnik penilaian proses dan hasil belajar. Pelaku penilaian terhadap proses dan hasil belajar diantaranya internal dan eksternal. Penilaian internal merupakan penilaian yang dilakukan dan direncanakan oleh guru pada saat pembelajaran berlangsung. Sedangkan penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak melaksanakan proses pembelajaran, biasanya dilakukan oleh suatu institusi / lembaga baik didalam maupun diluar negeri. Penelitian yang dilakukan lembaga / institusi tersebut dimaksudkan sebagai pengendali mutu proses dan hasil belajar peserta didik.
Metode dan tehnik penilaian sebagai bagian dari penilaian internal (internal assessment) untuk mengetahui proses dan hasil belajar peserta didik terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru. Hal ini bertujuan untuk mengukur tingkat ketercapaian ketuntasan kompetensi oleh peserta didik.
Penilaian hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru selain untuk memantau proses, kemajuan dan perkembangan hasil belajar peserta didik sesuai dengan potensi yang dimiliki, juga sekaligus sebagai umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan perencanaan dan proses program pembelajaran.
Ada empat macam istilah yang berkaitan dengan konsep penilaian dan sering kali digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar dari peserta didik yaitu pengukuran, pengujian, penilaian dan evaluasi. Namun diantara keempat istilah tersebut pengertiannya masih sering dicampuradukan, padahal keempat istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda.
Sebenarnya proses pengukuran, penilaian, evaluasi dan pengujian merupakan suatu kegiatan atau proses yang bersifat hirarkis. Artinya kegiatan dilakukan secara berurutan dan berjenjang yaitu dimulai dari proses pengukuran kemudian penilaian dan terakhir evaluasi. Sedangkan proses pengujian merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan dengan kegiatan penilaian.
Menurut Guilford (1982) pengukuran adalah proses penepatan angka terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu. Pengukuran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan pada klasifikasi observasi unjuk kerja atau kemampuan. Peserta didik dengan menggunakan suatu standar.
Pengukuran dapat menggunakan tes dan non tes. Tes adalah seperangkat pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah. Sedangkan non tes adalah pertanyaan maupun pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen non tes bias berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner sejumlah pertanyaan atau pernyataan sedangkan peserta didik diminta untuk menjawab atau memberikan pendapatnya terhadap pernyataan yang diajukan. Inventori merupakan instrument yang berisi tentang laporan diri dari keadaan peserta didik, misalnya potensi peserta didik. Pengukuran dalam kegiatan belajar bisa bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Kuantatif hasilnya berupa angka, sedangkan kualitatif hasilnya berupa pernyataan yaitu berupa pernyataan sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang, dan lain sebagainya.

D. PENGERTIAN EVALUASI
Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak berharga, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses penilaian untuk mengambil keputusan yang menggunakan seperangkat hasil pengukuran dan berpatokan kepada tujuan yang telah dirumuskan.
Untuk memperjelas pengertian evaluasi tersebut ada baiknya bila dikutip beberapa perumusan sebagai berikut:
a. Adams (1964) dalam bukunya “Measurement and evaluation in education, psychology, and guidance” menjelaskan bahwa kita mengukur berbagai kemampuan anak didik.Bila kita melangkah lebih jauh lagi dalam menginterprestasi skor sebagai hasil pengukuran itu dengan menggunakan standar tertentu untuk menentukan nilai dalam suatu kerangka maksud pendidikan dan pelatihannya atau atas dasar beberapa pertimbangan lain untuk membuat penilaian, maka kita tidak lagi membatasi diri kita dalam pengukuran, kita sekarang telah mengevaluasi kemampuan atau kemajuan anak didik.
b. Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield (1985) secara singkat merumuskan evaluasi sebagai berikut: “Evaluation is the systematic assessment of the worth or merit of some object”. Dengan demikian maka evaluasi antara lain merupakan kegiatan membandingkan tujuan dengan hasil dan juga merupakan studi yang mengkombinasikan penampilan dengan suatu nilai tertentu.
c. Robert L. Thorndike dan Elizabeth Hagen (1961) menjelaskan evaluasi tersebut dengan mengatakan bahwa evaluasi itu berhubungan dengan pengukuran. Dalam beberapa hal evaluasi lebih luas, karena dalam evaluasi juga termasuk penilaian formal dan penilaian intuitif mengenai kemajuan peserta didik. Evaluasi juga mencakup penilaian tentang apa yang baik dan apa yang diharapkan. Dengan demikian hasil pengukuran yang benar merupakan dasar yang kokoh untuk melakukan evaluasi.

Secara garis besar evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif (istilah ini pertama kali digunakan oleh Scriven (1967) dalam artikelnya berjudul “The Methodology of evaluation”). Evaluasi formatif dilakukan dengan maksud memantau sejauh manakah suatu proses pendidikan telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit pengajaran ke unit berikutnya.


BAB II
HUBUNGAN PENGUKURAN, TES, PENILAIAN DAN EVALUASI

Sebenarnya proses pengukuran, penilaian, evaluasi dan pengujian merupakan suatu kegiatan atau proses yang bersifat hirarkis. Artinya kegiatan dilakukan secara berurutan dan berjenjang yaitu dimulai dari proses pengukuran kemudian penilaian dan terakhir evaluasi. Sedangkan proses pengujian merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan dengan kegiatan penilaian.
Ada beberapa alasan untuk menggunakan pengukuran, tes, dan evaluasi dalam pendidikan, antara lain :

a. Seleksi
Tes dan beberapa alat pengukuran digunakan untuk mengambil keputusan tentang orang yang akan diterima atau ditolak dalam suatu proses seleksi. Untuk dapat memutuskan penerimaan atau penolakan ini maka haruslah digunakan tes yang tepat, yaitu tes yang dapat meramalkan keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam suatu kegiatan tertentu pada masa yang akan datang dengan resiko yang terendah. Tes jenis ini sangat umum dalam masyarakat kita, karena hampir selalu terjadi peminat untuk pekerjaan atau pendidikan jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan. Dilihat dari segi ini, maka acapkali tes seleksi yang dilakukan hanya sekedar untuk memisahkan orang yang akan diterima dari orang yang akan ditolak. Bukan untuk memperoleh calon yang paling besar kemungkinan berhasil dalam pekerjaan atau program yang akan dilakukan.

b. Penempatan
Dalam kursus atau latihan yang singkat biasanya dilakukan tes penempatan, untuk menentukan tempat yang paling cocok bagi seseorang untuk dapat berprestasi dan berproduksi secara efisien dalam suatu proses pendidikan atau pekerjaan. Tes seperti ini terutama didasarkan pada informasi tentang apa yang telah dan apa yang belum dikuasai oleh seseorang.

c. Diagnosis dan remedial
Tes seperti ini terutama untuk mengukur kekuatan dan kelemahan seseorang dalam kerangka memperbaiki penguasaan atau kemampuan dalam suatu program pendidikan tertentu. Jadi sebelum dilakukan remedial, maka seharusnya didahului oleh suatu tes diagnosis.

d. Umpan balik
Hasil suatu pengukuran atau skor tes tertentu dapat digunakan sebagai umpan balik, baik bagi individu yang menempuh tes maupun bagi guru atau instruktur yang berusaha mentransfer kemampuan kepada peserta didik. Suatu skor tes dapat digunakan sebagai umpan balik, bila telah diinterpretasi. Setidak-tidaknya ada dua cara menginterpretasi skor tes, yaitu dengan membandingkan skor seseorang dengan kelompoknya dan dengan melihat kedudukan skor yang diperoleh seseorang dengan kriteria yang ditentukan sebelum tes dimulai. Untuk yang pertama dinamakan “norm reference test” dan yang kedua dinamakan “criterion reference test”.

e. Memotivasi dan membimbing belajar
Hasil tes seharusnya dapat memotivasi belajar peserta didik, dan juga dapat menjadi pembimbingan bagi mereka untuk belajar. Bagi mereka yang memperoleh skor yang rendah seharusnya menjadi cambuk untuk lebih berhasil dalam tes yang akan datang dan secara tepat dapat mengetahui diwilayah mana terletak kelemahannya. Dan bagi mereka yang mendapat skor yang tinggi tentu saja hasil itu dapat menjadi motivasi mempertahankan dan maningkatkan hasilnya, serta dapat menjadi pedoman dalam mempelajari bahan pengayaan.

f. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan
Salah satu peran yang penting evaluasi pendidikan ialah mencari dasar yang kokoh bagi perbaikan kurikulum dan program pendidikan. Perbaikan kurikulum atau program pendidikan yang dilakukan tanpa hasil evaluasi yang sistematik acapkali menjadi usaha sia-sia yang mubajir.

g. Pengembangan ilmu
Hasil pengukuran, tes, dan evaluasi tentu saja akan dapat member sumbangan yang berarti bagi perkembangan teori dan dasar pendidikan. Ilmu seperti pengukuran pendidikan dan psikometrik sangat tergantung pada hasil-hasil pengukuran, tes, dan evaluasi yang dilakukan sebagai kegiatan sehari-hari guru dan pendidik. Dari hasil itu akan diperoleh pengetahuan emperik yang sangat berharga untuk pengembangan ilmu dan teori.


BAB III
PERBEDAAN PENGUKURAN, PENILAIAN, EVALUASI DAN TES

Sebelum melanjutkan pembicaraan tentang evaluasi pendidikan secara lebih luas dan mendalam, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam praktek acapkali terjadi kerancuan atau tumpang tindih (overlap) dalam penggunaan istilah “evaluasi”, “penilaian” dan “pengukuran”. Kenyataan seperti itu memang dapat dipahami, mengingat bahwa diantara ketiga istilah tersebut saling kait- mengkait sehingga sulit untuk dibedakan. Namun dengan uraian berikut ini kiranya akan dapat membantu memperjelas perbedaan dan sekaligus hubungan antara pengukuran, penilaian dan evaluasi .
Pengukuran yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan measurement dan dalam bahasa Arabnya adalah muqayasah, dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk “mengukur” sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu. Misalnya mengukur suhu badan dengan ukuran berupa thermometer: hasilnya: 360 celcius, 380 celcius, 390 celcius dan seterusnya. Contoh lain: dari 100 butir yang diajuakan dalam tes, ahmad menjawab dengan betul sebanyak 80 butir soal. Dari contoh tersebut dapat kita dipahami bahwa pengukuran itu sifatnya kuantitatif.
Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu, dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu; misalnya ; pengukuran yang dilakukan oleh penjahit pakaian mengenai panjang lengan, panjang kaki, lebar bahu, ukuran pinggan dan sebagainya.
2. Pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu : misalnya ; pengukuran untuk menguji daya tahan per baja terhadap tekanan berat, pengukuran untuk menguji daya tahan lampu pijar, dan sebagainya.
3. Pengukuran untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan menguji sesuatu ; misalnya : mengukur kemajuan belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar. Pengukuran jenis ketiga inilah yang biasa dikenal dalam dunia pendidkan.

Penialian” berarti menilai sesuatu. Sedangkan menilai itu mengandung arti : mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang teguh pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Jadi penilaian itu sifatnya adalah kualitatif. Dalam contoh di atas tadi, seseorang yang suhu badannya 36°Celcius termasuk orang yang normal kesehatannya, dengan demikian orang tersebut dapat ditentukan sehat badannya. Dari 100 butir soal, 80 butir dijawab dengan betul oleh Ahmad; dengan demikan dapat ditentukan Ahmad termasuk anak yang pandai.
Sedangkan “Evaluasi” adalah mencangkup kegiatan yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu mencangkup “pengkuran” dan “penilaian”. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu, dilakukanlah pengukuran, dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal dengan istilah tes.
Di atas telah dikemukakan bahwa pengukuran itu adalah bersifat kuantitatif; hasil pengukuran itu berwujud keterangan yang berupa angka-angka atau bilangan-bilangan. Adapun evaluasi adalah bersifat kualitatif; evaluasi pada dasarnya adalah merupakan penafsiran atau interpretasi yang sering bersumber pada data yang bersifat kuantitatif. Dikatakan sering bersumber pada data yang bersifat kuantitatif, sebab sebagaimana dikemukakan oleh Prof.Dr, Masroen, M.A (1979), tidak semua penafsiran itu bersumber dari keterangan-keterangan yang bersifat kuantitatif. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, misalnya keterangan –keterangan mengenai hal-hal yang disukai siswa, informasi yang datang dari orang tua siswa, pengalaman-pengalaman masa lalu, dan lain-lain, yang kesemuanya itu tidak bersifat kuantitaif melainkan kualitatif.
Lebih lanjut masroen menegaskan bahwa penilaian (setidak-tidaknya dalam bidang psikologi dan pendidikan) mempunyai arti yang lebih luas ketimbang istilah pengukuran, sebab pengukuran itu sebenarnya hanyalah merupakan suatu langkah atau tindakan yang kiranya perlu diambil dalam rangka pelaksanaan evaluasi. Dikatakan “kiranya perlu diambil” sebab tidak semua penilaian itu harus senantiasa didahului oleh tindakan pengukuran secara lebih nyata. Sebagai contoh dapat dikemikakan di sini, misalnya untuk dapat untuk dapat menetukan keberhasilan pengajaran pendidikan agama islam . ada cara lain yang dapat ditempuh guna mengetahui apakah para siswa telah dapat menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang telah diberikan kepada mereka di sekolah; cara lain itu misalnya dengan melakukan observasi (pengamatan) melakukan wawancara dan sebagainya.
Namun demikian tidak dapat disangkal adanya kenyataan, bahwa Evaluasi dalam bidang pendidikan sebagian besar bersumber dari hasil-hasil pengukuran. Menurut Masroen, pada umumnya para pakar di bidang pendidikan sependapat, bahwa evaluasi mengenai proses pembelajaran disekolah, tidak mungkin dapat berjalan dengan bail apabila evaluasi itu tidak didasarkan atas data yang bersifat kuantitatif, inilah sebabnya mengapa dalam praktek masalah pengukuran mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam dalam proses evaluasi. Baik buruknya evaluasi akan banyak bergantung pada hasil-hasil pengukuran yang mendahuluinya. Hasil pengukuran yang Kurang cermat akan memberikan hasil evaluasi yang kurang cermat pula, sebaliknya teknik pengukuran yang tepat akan memberikan landasan yang kokoh untuk mengadakan evaluasi yang tepat.
Kenyataan inilah yang acapkali menimbulkan adanya kerancuan dan tumpang tindih, antara istilah evaluasi, penilaian dan pengukuran.


BAB IV
ETIKA TES

Kegiatan pengujian berperan sangat besar dalam system pendidikan dan system persekolahan.karena pentingnya itu maka setiap tindakan pengujian selalu menimbulkan kritik yang tajam dari masyarakat. Kritik tersebutt tidak jarang dating dari para ahli, disamping dating dari orang tua yang secara langsung atau tidak langsung berkepentingan terhadap pengujian. Diantara beberapa kritik tersebut ada beberapa yang harus menjadi perhatian sungguh sunggup oleh para praktisi dan ahli tes, pengukuran dan evaluasi. Kritik tersebut antara lain:
a. Tes senantiasa akan mencampuri rahasia pribadi peserta tes. Setiap tes berusaha mengetahui pengetahuan dan kemampuan peserta tes, yang dapat berarti membuka kelemahan dan kekuatan pribadi seseorang. Didalam masyarakat yang sangat melindungi akan hak dan rahasia pribadi,masalah ini seslalu akan menjadi gugatan atau keluhan.
b. Tes selalu menimbulkan rasa cemas peserta tes.memang sampai bats tertentu rasa cemas itu dibutuhkan untuk dapat mencapai prestasi terbaik, tetapi tes acapkali menimbulkan rasa cemas yang tidak perlu, yang justru dapat menghambat seseorang mampu mendemonstrasikan kemampuan terbaiknya.
c. Tes acapkali justru menghukum peserta didik yang kreatif.karena tes itu selalu menuntut jawaban yang sudah ditentukan pola dan isinya, maka tentu saja hal itu tidak memberi ruang gerak yang cukup bagi anak yang kreatif.
d. tes selalu terikat pad kebudayaan tertentu. Tidak ada tes hasil belajar yang bebas budaya. Karena itu kemampuan peserta tes untuk memberi jawaban terbaik turut ditentukan oleh kebudayaan penyusun tes.

e. Tes hanya mengukur hasil belajar yang sederhana dan yang remeh. Hampir tidak pernah ada tes hasil belajar yang mampu mengungkapkan tingkah laku peserta didik secara menyeluruh, yang justru menjadi tujuan utama pendidikan formal apapun.

Karena banyak kritik yang tajam dari masyarakat terhadap tes hasil pendidikan, maka para pendidik harus dapat melakukan tes dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu perlu ditegakan beberapa etika tes, yang membedakan tes yang etik dan tindakan yang tidak etik dalam pelaksanaan tes secara professional.

Praktek tes hasil belajar yang etik terutama mencangkup empat hal utama :
a. Kerahasiaan Hasil Tes
Setiap pendidik dan pengajar wajib melindungi kerahasiakan hasil tes, baik secara hasil individual maupun secara kelompok. Hasil tes hanya dapat disampaikan kepada orang lain bila :
1) Ada izin dari peserta didik yang bersangkutan atau orang yang bertanggung jawab terhadap peserta didik (bagi peserta didik yang belum dewasa). Jadi dengan demikian praktek menempelkan hasil tes di papan pengumuman dengan identitas jelas peserta tes, merupakan pelanggaran terhadap etika ini.
2) Ada tanda-tanda yang jelas terhadap hasil tes tersebut menunjukan gejala yang membahayakan dirinya atau membahayakan kepentingan orang lain.
3) Bila penyampaian hasil tes tersebut kepada orang lain jelas-jelas menguntungkan peserta tes.

b. Keamanan tes
Tes merupakan alat pengukur yang hanya dapat digunakan secara professional. Dengan demikian tes tidak dapat digunakan diluar batas-batas yang ditentukan oleh profesionalisme pekerjaan guru. Dengan demikian maka setiap pendidik harus dapat menjamin keamanan tes, baik sebelum maupun sesudah digunakan.

c. Interpretasi Hasil Tes
Hal yang paling mengandung kemunkinan penyalahgunaan tes adalah penginterpretasian hasil tes secara salah. Karena itu maka interpretasi hasil tes harus diikuti tanggung jawab professional. Bila hasil tes diinterpretasi secara tidak patut, daalam jangka panjang akan dapat membahayakan kehidupan peserta tes.

d. Penggunaan tes
Tes hasil belajar haruslah digunakan secara patut. Bila tes hasil belajar tertentu merupakan tes baku, maka tes tersebut harus digunakan di bawah ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut harus digunakan dibawah ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut. Tak ada tes baku yang boleh digunakan diluar prosedur yang ditapakan oleh tes itu sendiri.

Disamping beberapa prinsip seperti yang diuraikan di atas, ada beberapa petunjuk praktis yang hendaknya ditaati oleh pendidik dalam tes:
a. Pelaksaan tes hendaknya diberi tahu terlebih dahulu kepada peserta tes. Hanya karena pertimbangan tertentu, yang sangat penting yang dapat membenarkan pendidik tidak memberi tahu terlebih dahulu kepada peserta tes tentang tes yang akan dilaksanakan. Bahkan kisi-kisi tes sebaiknya diberi tahu kepada peserta tes sebelum melaksanakan tes.
b. Sebaiknya pendidik menjelaskan cara menjawab yang dituntut dalam suatu tes. Petunjuk menjawab tes bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan. Petunjuk yang bersifat menjebak harus dihindari.
c. Sebaiknya pendidik justru memotivasi peserta tes mengerjakan tesnya secara baik. Jangan sampai seorang pendidik justru menakut-nakuti peserta didik.
d. Bila pendidik menggunakan tes baku, maka hendaknya pendidik tersebut bertanggung jawab penuh terhadap keamanan tes tersebut. Tidak ada tes baku yang boleh digunakan dalam latihan.
e. Seorang pendidik dapat menggunakan hasil tes untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan peserta tes, asalkan hal tersebut tetap menjadi rahasia peserta tes dan pendidik yang bersangkutan.
f. Guru hendaknya menghindari diri dari keterlibatan dalam bimbingan tes yang dapat diperkirakan akan menggangu proses hasil belajar peserta didik. Hal ini menjadi penting bila guru yang bersangkutan justru terlibat dalam penyusunan butir tes yang digunakan.
g. Adalah tidak etik bila seorang guru mengembangkan butir soal atau perangkat soal yang paralel dengan suatu tes baku dengan maksud untuk digunakan dalam bimbingan tes.
h. Adalah tidak etik untuk mendiskriminasikan peserta didik tertentu atau kelompok tertentu yang boleh mengikuti suatu tes atau melarang mengikuti tes.
i. Adalah tidak etik untuk memperpanjang waktu atau menyingkat waktu yang telah ditentukan oleh petunjuk tes.
j. Guru tidak boleh meningkatkan rasa cemas peserta tes dengan penjelasan yang tidak perlu.

Secara lebih mandasar etika tes ini diatur dalam standar tes yang dikembangkan oleh organisasi profesional seperi American Psycological Association (APA), American Educational Research Education (AERA), dan National Council on Measuremant in Educaton (NCME). Terakhir ketiga organiasi professional ini membentuk panitia bersama untuk menyusun standar dalam tes. Mereka menghasilkan buku yang dinamakan “Standard for Educational and Psychological Testing” (1985).
Dalam standar ini dicantumkan berbagai tolak ukur, seperti :
1. Technical Standards for Test Construction and Evaluation;
2. Professional Standards for Test Use;
3. Standards for Particular Application; dan
4. Standards for Administrative Procedures.

Semua standar ini mencangkup dua aspek utama, yaitu tes hasil belajar dan tes psikologi. Pelanggaran terhadap standar ini merupakan pelanggaran terhadap etika profesi, yang dalam hal tertentu dapat merupaakan pelanggaran atau kejahatan.

Sumber / daftar pustaka
1. Mimin Haryati, Model & Teknik Penilaian pada tingkat satuan pendidikan, Jakarta : GP Press, 2007.
2. Asmawi Zainul, Pengukuran, Tes dan Evaluasi Hasil Belajar, Jakarta : PAU, 1992.
3. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Secara umum orang hanya mengidentikkan kegiatan evaluasi sama dengan menilai, karena aktifitas mengukur sudah termasuk didalamnya. Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.

                             Konsep Evaluasi

Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai “The process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives”. Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.
Evaluasi adalah kegiatan mengukur dan menilai. Mengukur lebih besifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif.
Viviane dan Gilbert de Lansheere (1984) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses penentuan apakah materi dan metode pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Penentuannya bisa dilakukan salah satunya dengan cara pemberian tes kepada pembelajar. Terlihat disana bahwa acuan tes adalah tujuan pembelajaran.

                        Konsep Penilaian

Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.
Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai.

                        Konsep Pengukuran

Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen.
Pengukuran adalah proses pemberian angka-angka atau label kepada unit analisis untuk merepresentasikan atribut-atribut konsep. Proses ini seharusnya cukup dimengerti orang walau misalnya definisinya tidak dimengerti. Hal ini karena antara lain kita sering kali melakukan pengukuran.

                        Perbedaan Evaluasi, Penilaian dan Pengukuran

Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pengukuran adalah membandingkan hasil tes dengan standar yang ditetapkan. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan keputusan.Penilaian bersifat kualitatif.
Agar lebih jelas perbedaannya maka perlu dispesifikasi lagi untuk pengertian masing2:
·      Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan nilai, kriteria-judgment atau tindakan dalam pembelajaran.
·      Penilaian dalam pembelajaran adalah suatu usaha untuk mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan yang telah dicapai oleh anak didik melalui program kegiatan belajar.
·      Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Dalam dunia pendidikan, yang dimaksud pengukuran sebagaimana disampaikan Cangelosi (1995: 21) adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris.

                        Macam Macam Validitas


I. Pengertian Validitas (Validity)
Secara bahasa konsep validitas adalah kesahihan; kebenaran yang diperkuat oleh bukti atau data yang sesuai. secara istilah definisi validitas antara lain :
a. Kesesuaian antara definisi operasional dengan konsep yang mau diukur
b. Gay (1983:110) the most simplistic definition of validity is that it is the degree to which a test measured what it is supposed to measured.
c. Validitas dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam mem­beri­kan inter­pretasi terhadap hasil pengukurannya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa sebenarnya validitas adalah suatu proses untuk mengukur dan menggambarkan objek atau keadaan suatu aspek se­suai de­ngan fakta. Dalam konsep validitas setidaknya terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu relevans” dan accuracy. Relevansi menunjuk pada kemampuan instrumen untuk memerankan fungsi untuk apa instrumen tersebut dimaksudkan (what it is intended to measure). Accuracy menunjuk ketepatan instrumen untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang diukur secara tepat, yang berarti dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Kedudukan validitas sangat penting dalam suatu kegiatan termasuk dalam evaluasi pembelajaran karena menyangkut hasil pembelajaran dilandasi dan di­dukung oleh fakta-fakta yang representatif. apabila tidak ada validitas maka suatu proses maupun hasil pembelajaran tidak akan berjalan objektif melainkan subjektif hal ini tentu akan merugikan semua pihak terutama siswa.

II. Macam Macam Validitas (Validity)
Setelah meneliti tentang definisi validitas, menurut para ahli setidaknya ada empat macam validitas, yaitu :
a. Face Validity
Secara bahasa Face Validity dapat diartikan dengan kesahihan/kebenaran yang tampak. namun yang dimaksud di sini face validitas adalah pertimbangan subjektif mengenai validitas berdasarkan yang terlihat/tampak. Face validity digunakan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pembelajaran dapat menggambarkan konsep yang ingin diukur. secara pribadi saya mengalami kesulitan dalam memahami konsep ini, mungkin hal ini terkait dengan keterbatasan yang saya miliki.
b. Validitas konstruk (construct validity)
Validitas konstruk berhubungan dengan per­tanya­an: seberapa jauh instrumen yang kita susun mam­­pu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu.
Validitas konstruk disusun dengan mendasarkan diri pada per­timbangan-pertimbangan rasional dan konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan. validitas konstruk menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain yang secara teoritis menggambarkan konsep yang diukur. Contoh: apakah skor depresi yang dikembangkan dapat membedakan orang depresi dengan orang tidak depresi.
c. Validitas Isi (conten Validity)
Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan atau melukiskan se­cara tepat mengenai domain perilaku yang akan di­ukur. Misalnya instrumen yang dibuat untuk meng­ukur aktivitas siswa dalam belajar, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan secara benar mengenai aktivitas siswa sebagaimana diuraikan dalam deskripsi kegitan siswa dalam belajar. Contoh lain lagi misalnya instrumen yang disiapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan de­ngan benar prestasi belajar siswa sesuai dengan stan­dar prestasi sesuai dengan materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Kalau pada instrumen kinerja pe­neliti melakukan analisis kinerja sebagai­mana yang ditetapkan dalam deskripsi tugas (job description), maka pada instrumen untuk mengukur prestasi belajar, kita harus melakukan analisis ma­teri pelajaran, mulai dari pembagian bab per bab, sam­pai pada uraian setiap pokok bahasan.
d.
Validitas kriterion (kriterion-related validity).
yaitu validitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu pengukuran sebagai indikator dari suatu tingkah laku atau sifat yang spesifik. Hal yang penting adalah keakuratan indikator. Criterion validity dinilai dengan membandingkan hasil satu pengukuran dengan pengukuran menurut gold standard, Contoh: intensi nyontek.


BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG VALIDITAS

A. Pendahuluan


Persoalan alat ukur yang digunakan mahasiswa ketika melakukan pencarian data penelitian sering dihadapkan pada persoalan akurasi, konsisten dan stabilitas sehingga hasil pengukuran yang diperoleh bisa mengukur dengan akurat sesuatu yang sedang diukur. Instrumen ini memang harus memiliki akurasi ketika digunakan. Konsisten dan stabil dalam arti tidak mengalami perubahan dari waktu pengukuran satu ke pengukuran yang lain. Fenomena ini merupakan titik awal dari aksi penelitian mahasiswa yang mau tidak mau harus dihadapi ketika mahasiswa akan menyelesaikan tugas-tugas kuliah dalam jenjang pendidikan Strata 1. Mereka akan berhadapan dengan cara bagaimana membuat alat ukur, atau instrumen itu memiliki validitas dan reliabilitas agar bisa digunakan dalam memperoleh data. Karena data yang kurang memiliki validitas dan reliabilitas, akan menghasilkan kesimpulan yang kurang lazim.

Data yang kurang memiliki validitas dan reliabilitas, akan menghasilkan kesimpulan yang bias, kurang sesuai dengan yang seharusnya, dan bahkan bisa saja bertentangan dengan kelaziman. Untuk membuat alat ukur instrumen itu, diperlukan kajian teori, pendapat para ahli serta pengalaman-pengalaman yang kadangkala diperlukan bila definisi operasional variabelnya tidak kita temukan dalam teori. Alat ukur atau instrumen yang akan disusun itu tentu saja harus memiliki validitas dan reliabilitas, agar data yang diperoleh dari alat ukur itu bisa reliabel, valid dan disebut dengan validitas dan reliabilitas alat ukur atau validitas dan reliabilitas instrumen.

B. Pembahasan

1. Validitas dan Reliabilitas Penelitian

Sebelum aksi penelitian dilakukan, mahasiswa perlu membedakan kriteria tentang validitas dan reliabilitas hasil penelitian dengan validitas dan reliabilitas instrumen. Hasil penelitian yang valid dan reliabel dengan instrumen yang valid dan reliabel, Sugiono, 2005, merupakan hasil penelitian yang memiliki kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Misalnya saja warna dalam objek yang berwarna merah, akan tetapi data yang terkumpul memberikan data berwarna lain, maka hasil penelitiannya tidak valid. Sedangkan hasil penelitian yang reliabel, diperoleh bila terdapat kesamaan data yang terkumpul dalam kurun waktu yang berbeda, ataupun pengukuran yang dilakukan secara berulang. Misalnya warna dalam obyek beberapa waktu lalu berwarna merah, maka pada saat ini dan besok tetap berwarna merah. Jika kita memperoleh data tentang jumlah mahasiswa Fakultas Ekonomi dua hari yang lalu adalah 50 mahasiswa, maka jumlah mahasiswa pada hari ini dan besok adalah sebanyak 50 mahasiswa, demikian seterusnya.

2. Reliabilitas Instrumen

Pengertian Reliabilitas, Sugiono 2005, adalah serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang. Kondisi itu ditengarai dengan konsistensi hasil dari penggunaan alat ukur yang sama yang dilakukan secara berulang dan memberikan hasil yang relatif sama dan tidak melanggar kelaziman. Untuk pengukuran subjektif, penilaian yang dilakukan oleh minimal dua orang bisa memberikan hasil yang relatif sama (reliabilitas antar penilai). Pengertian Reliabilitas tidak sama dengan pengertian validitas. Artinya pengukuran yang memiliki reliabilitas dapat mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.

3. Pengukuran Reliabilitas

Sifat reliabilitas dari sebuah instrumen berhubungan dengan sejauh mana kemampuan alat ukur itu memberikan hasil yang konsisten dari satu even percobaan ke even percobaan lainnya. Jika konsistensi pengukuran itu tidak kita peroleh dalam setiap pengukuran, dapat dibayangkan bila pengukuran yang dilakukan dengan instrumen itu memberikan hasil yang berbeda dari pengukuran satu ke pengukuran berikutnya. Saat ini kita memperoleh hasil pengukuran berat badan seseorang adalah 70 kg. Beberapa saat kemudian, meskipun dengan alat ukur yang sama kita memperoleh hasil 73 kg. Demikian seterusnya, hasilnya tidak pernah konsisten. Data yang kita peroleh tidak pernah konsisten dari waktu ke waktu. Pertanyaan yanag akan muncul dari benak kita adalah hasil pengukuran mana yang kita gunakan?

Dalam kajian teoritis, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu uji coba yang dilakukan tetap memiliki hasil yang sama meskipun dilakukan secara berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Instrumen alat ukur dianggap bisa diandalkan apabila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama dan tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang dilakukan secara berulang-ulang itu memberikan hasil yang relatif tidak sama. Pengujian reliabilitas instrumen untuk memperoleh hasil yang reliabel bisa dilakukan dengan berbagai metode statistik.

Contoh lain adalah misalnya saja dalam sebuah kesempatan kita ingin mengukur panjang dan lebar tiga (3) buah lapangan bola volley. Alat yang digunakan dalam pengukuran itu adalah meteran dan jangkauan langkah. Setelah dilakukan pengukuran, bisa dipastikan bahwa pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan meteran memperoleh hasil panjang dan lebar yang relatif sama terhadap ketiga lapangan bola volley itu. Sedangkan pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan jangkauan langkah terhadap ketiga lapangan bola volley itu, menghasilkan satuan ukur, yakni panjang dan lebar yang berbeda.

4. Validitas Instrumen

Fenomena kedua setelah mahasiswa menguji reliabilitas alat ukur, pekerjaan berikutnya adalah bagaimana memperoleh instrumen yang memiliki validitas, agar data yang diperoleh dari penyebaran instrumen itu benar-benar valid. Dikatakan memiliki validitas adalah bila instrumen atau alat ukur yang dibuat bisa dengan tepat mengukur objek yang akan diukur. Misalnya saja untuk mengukur, panjang dan lebar lapangan bola volley agar sama dengan luas standar lapangan internasional, maka sebaiknya kita menggunakan meteran. Karena meteran adalah merupakan alat ukur yang valid dan sudah memiliki validitas. Selain meteran, alat ukur untuk mengukur panjang dan lebar benda tidak lazim digunakan. Dalam teori ada bermacam-macam validitas.

Menurut Ebel, dalam Moh. Nazir, 2003, Validitas dibagi menjadi concurrent validity (validitas concuren), construct validity (validitas konstruk), face validity (validitas rupa), factorial validity (validitas faktorial), empirical validity (validitas empiris), intrinsic validity (validitas intrinsik), dan predictive validity (validitas prediksi).

Sementara itu, Anastasi, 1973 dan Nunnally, 1979, dalam Masri 2006, validitas alat pengumpul data dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yakni validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content valitity), validitas prediktif (predictive validity), validitas eksternal (external validity), dan validitas rupa (face validity). Selain itu ada beberapa jenis validitas lain yang tidak dibicarakan, tetapi relatif penting dilakukan bagi penelitian di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan memiliki aneka ragam budaya. Validitas tersebut adalah validitas budaya (cross-cultural validity).

Sedangkan menurut Suharsimi, 2003, berdasarkan cara pengujiannya, terdapat dua validitas, yakni validitas ekternal dan validitas internal, selain itu validitas dikelompokkan menjadi beberapa kriteria, yakni, validitas konstruk, validitas isi, dan validitas prediksi.
Pengertian concurrent validity adalah validitas yang berkaitan dengan hubungan (korelasi) antara skor dalam item instrumen dengan kinerja, atau objek penelitian yang lain.

Construct validity atau validitas konstruk, adalah bila kita mendefinisikan validitas sebagai kualitas psikologi apa yang diukur oleh sebuah pengujian, serta menilainya dengan memperlihatkan bahwa konstrak tertentu yang bisa diterangkan, dapat menyebabkan penampilan baik buruknya (performance) dalam pengujian. Face validity atau validitas rupa yang berhubungan apa yang kelihatan dalam mengukur sesuatu, tetapi bukan terhadap apa yang seharusnya akan diukur.

Factorial validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya. Validitas ini biasanya diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor.

Empirical validity adalah validitas empiris yang berkaitan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria, dimana kriteria itu adalah merupakan ukuran yang bebas dan langsung berhubungan dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.

Intrinsic validity adalah validitas yang berkaitan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh fakta kuantitatif dan objektif untuk. Teknik uji coba itu yang dilakukan untuk mendukung bahwa instrumen yang digunakan sebagai alat ukur adalah benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur.

Predictive validity adalah validitas perkiraan yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerja atau seseorang di masa mendatang berdasarkan pengukuran awal. Validitas prediksi adalah validitas instrumen yang diharapkan bisa memiliki hubungan dengan hasil yang diharapkan dari instrumen yang dibuat. Misalnya instrumen yang ditujukan terhadap mahasiswa baru. Bila jawaban responden (mahasiswa baru) memiliki hubungan dengan prestasi belajar mahasiswa ketika mengikuti kuliah mulai dari semester awal sampai semester akhir, berarti instrumen itu memiliki validitas prediksi yang tinggi. Sebaliknya jika instrumen yang dibuat dan ditujukan terhadap mahasiswa baru itu tidak memilii bubungan dengan prestasi belajar mahasiswa mulai dari semester awal hingga semester akhir, berarti instrumen itu meiliki validitas prediksi yang rendah.

Content validity adalah validitas yang berkaitan dengan baik atau buruknya sampel yang diambil dari populasi.

Curricular validity adalah validitas yang ditentukan oleh bagaimana cara peneliti menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pengukuran yang dilakukan ituadalah merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional. Masri, 2006, validitas terbagi dalam beberapa kriteria antara lain, validitas konstruk, validitas isi, dan validitas prediksi.

Validitas isi adalah validitas instrumen yang memiliki kandungan isi butir-butir item pertanyaan yang dibuat sesuai dengan topik penelitian dan bisa menggali jawaban responden sesuai dengan permasalahan yang sudah dirumuskan oleh peneliti.

Validitas konstruk adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas dalam aspek psikologis tentang apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu itu bisa menyebabkan kinerja dan hasil yang baik dalam pengukuran. Validitas prediksi adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur yang sudah dilakukan pada periode awal terhadap seseorang dengan kinerja seseorang pada waktu yang akan datang. Validitas ini biasanya dilakuklan ketika adavrekruitmen siswa atau pegawai lembaga tertentu.

C. Penutup

Bila dikaji secara umum, persyaratan minimal yang lazim dimiliki oleh instrumen yang dibuat adalah alat ukurnya harus memiliki minimal dua keunggulan, yakni validitas dan reliabilitas. Validitas dan reliabilitas lazim diperlukan bila instrumen yang dibuat merupakan instrumen baru dan belum pernah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Karena biasanya instrumen baru secara umum belum memiliki validitas dan reliabilitas. Validitas dan reliabilitas lazim diujikan jika instrumen baru itu masih belum memiliki validitas dan reliabilitas yang belum terukur. Dengan demikian, jika alat ukur yang digunakan mampu memberikan informasi yang sesungguhnya tentang apa yang kita inginkan untuk diukur dinamakan valid. Atau dengan kata lain, instrumen yang dipakai dalam penelitian memiliki validitas yang baik. Misalnya saja jika dalam suatu kesempatan kita ingin mengetahui tentang panjang dan lebar meja pingpong. Menghadapi persoalan demikian, meteran merupakan salah satu alat ukur pilihan yang memiliki validitas yang baik. Karena dengan alat ini, kita akan memperoleh informasi yang benar tentang panjang dan lebar meja pingpong berdasarkan alat ukur yang memiliki validitas. Dalam hal lain, kita bisa juga mengukur panjang dan lebar meja pingpong dengan bentangan tangan, atau, tinggi badan yang digunakan untuk mengukur dan digunakan untuk mengukur ketinggian benda. Meskipun alat ukur bentangan tangan dan tinggi badan untuk mengukur panjang, lebar, dan ketinggian benda merupakan alat ukur yang tidak lazim, serta memiliki validitas yang bisa diragukan. Akan tetapi, kita tidak bisa menggunakan timbangan untuk mengukur ketinggian benda. Atau kita tidak bisa menggunakan meteran untuk mengukur berat benda. Meteran merupakan alat ukur yang memiliki validitas tinggi bila digunakan untuk mengukur, panjang dan lebar benda, akan tetapi merupakan alat ukur yang memiliki validitas rendah jika digunakan untuk mengukur berat benda.
.
.
.
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
.
.
.
UJI VALIDITAS DALAM OPINI


A. Pendahuluan
Penggunaan statistik parametrik sebagai alat analisis yang digunakan mahasiswa, lazimnya digunakan untuk memperlakukan data interval dan ratio. Statistik parametrik ini, selain memiliki kajian yang lebih kuat, akan tetapi juga bisa memberikan nilai harapan dalam kesimpulan secara numerik. Selain itu, statistik parametrik juga bisa digunakan untuk memprediksi. Akan tetapi, belakangan ini relatif ramai dibicarakan tentang penggunaan statistik non parametrik sebagai salah satu alternatif alat analisis dalam penelitian mahasiswa. Statistik parametrik, selain memerlukan persyaratan khusus, yakni harus memenuhi kriteria normalitas data, akan tetapi lazim digunakan jika data yang dianalisis adalah data interval atau ratio. Secara teori, statistik parametrik memiliki kajian yang lebih kuat dibandingkan dengan statistik non parametrik. Statistik non parametrik, lazim digunakan meskipun data yang dianalisis tidak berdistribusi normal. Statistik non parametrik ini hanya mengukur distribusi. Selain itu, statistik non parametrik, hanya memerlukan perhitungan yang relatif sederhana. Penggunaan statistik non parametrik dalam penelitian mahasiswa, lebih banyak menggunakan instrumen penelitian alat ukur untuk memperoleh data.


B. Pembahasan


Kajian tentang penggunaan instrumen sebagai alat ukur itu tentu saja memerlukan kecermatan dan ketelitian dalam pembuatannya. Karena dari instrumen itu akan memberikan jawaban kepada kita tentang data-data yang diperlukan dalam penelitian. Data yang baik, hanya akan diperoleh dengan instrumen atau alat ukur yang baik. Data yang valid karena memiliki validitas dan reliabel karena memiliki reliabilitas, hanya akan diberikan oleh intrumen yang valid dan reliabel. untuk memperolah instrumen yang valid dan reliabel itu diantaranya adalah harus melalui mekanisme pengujian secara statistik dengan benar. Beberapa alasan tentang perlu tidaknya pengujian secara statistik tentang penggunaan instrumen sebagai alat ukur dalam penelitian akan dibahas secara sederhana dalam tulisan ini. Alasan pertama adalah peluang terjadinya kesalahan yang disebabkan oleh satu peubah bebas X, yakni kesalahan yang terjadi karena instrumen yang tidak valid dan reliabel. Instrumen tidak memberikan informasi yang benar bagi responden sehingga menimbulkan keraguan dalam menjawab pertanyaan pertanyaan yang diajukan. Sedangkan alasan kedua adalah kesalahan yang terjadi dalam diri responden. Instrumen sudah baik, valid dan reliabel. Akan tetapi jawaban yang diberikan pleh responden merupakan jawaban yang asal jadi, asal menjawab, dan bahkan secara sengaja tidak bersedia memberikan jawaban apa yang seharusnya di jawab.


Menurut Sambas (2006), terdapat dua pendapat tentang perlu tidaknya digunakan uji t dalam uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan statistika. Pendapat pertama menyebutkan bahwa untuk menguji validitas an reliabilitas tidak perlu digunakan uji t, tetapi cukup dengan menghitung nilai r, kemudian nilai r yang sudah diperoleh itu dibandingkan dengan nilai tabel r untuk mengetahui valid atau tidaknya instrumen yang sudah dibuat. Sementara pendapat kedua menyebutkan, setelah menghitung nilai r, harus dilanjutkan dengan uji t, kemudian membandingkannya dengan nilai r tabel untuk mengetahui valid atau tidaknya instrumen. Berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang perlu tidaknya digunakan uji t dalam uji validitas dan reliabilitas, maka perlu ditegaskan disini, bahwa kedua pendapat di atas adalah benar. Artinya penggunaan uji r dan uji t dalam pengujian validitas dan reliabilitas dalam pengukuran alat ukur lazim digunakan dalam penelitian. Namun demikian ada syarat yang perlu dipenuhi oleh keduanya. Pertama, pengujian validitas cukup menggunakan nilai keofisien korelasi apabila responden yang dilibatkan dalam pengujian validitas adalah populasi. Artinya, keputusan valid tidaknya item instrumen, cukup membandingkan nilai r hitung dengan nilai tabel r. Kedua, pengujian validitas perlu menggunakan uji t apabila responden yang dilibatkan dalam pengujian validitas adalah sampel. Artinya, keputusan valid atau tidaknya item instrumen, tidak bisa dilakukan hanya dengan membandingkan nilai r hitung dengan nilai r tabel, tetapi harus dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel.

C.     Penutup
Dalam hal ini dapat dijelaskan, bahwa pengujian validitas/relibilitas dengan sensus (populasi) tidak diperlukan generalisasi atau penarikan kesimpulan yang bersifat umum, karena seluruh anggota populasi dilibatkan dalam penelitian sehingga kesimpulan yang dibuat berlaku untuk populasi itu sendiri. Sementara dalam pengujian validitas/reliabilitas dengan sampel, generalisasi diperlukan, karena tidak semua anggota populasi dilibatkan sebagai responden, oleh karena itu generalisasi harus dilakukan, apabbila tidak dilakukan generalisasi maka kesimpulan yang dibuat hanya untuk anggota sampel yang terlibat langsung sebagai responden, tidak untuk populasi. Dalam metode statistika, kegiatan untuk membuat generalisasi dilakukan dengan menggunakan pengujian statistik tertentu. Dengan demikian, pengujian statistik ini merupakan pengujian terhadap karakteristik dsampel agar dapat diambil kesimpulan yang bersifat umum dalam hal ini dianggap mewakili seluruh keberadaan/karakterisrik/ apa yang terjadi dalam populasi.
.








                        KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM)


Pengantar:
Materi yang disajikan di bawah ini, aslinya saya susun dalam bentuk PowerPoint. Namun karena kendala teknis, maka kemudian diketik dalam Ms Word. Materi ini disampaikan ketika sekolah mempercayakan kepada saya untuk menjadi pembicara dalam Workshop Implementasi Layanan Pendidikan Sekolah Standar Nasional (SSN) di SMA Negeri 1 Pagak Tahun Pembelajaran 2009/2010 (tingkat lanjutan) pada 2—5 Nopember 2009. Selain sebagai pemateri tentan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sekolah juga mempercayakan saya untuk menyampaikan materi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sekedar diketahui, kegiatan sejenis workshop ini telah dilaksanan sejak menyongsong Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingga penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saat ini, dilaksanakan pada setiap semester, setiap Tahun Pembelajaran. Semester 1 Tahun Pembelajaran 2009/2010 ini saja, SMA Negeri 1 Pagak telah melaksanakan workshop sebanyak dua kali. Sebelumnya dilaksanakan pada awal semester 1 Tahun Pembelajaran 2009/2010. Beberapa kali pula saya dipercaya sekolah untuk ikut menyampaikan materi, walau sebenarnya saya, sungguh tidak memiliki kelebihan apapun. Karena kehendak Allah semata, saya sedikit lebih tahu dulu tentang KBK melalui Workshop MGMP Geografi Tingkat Jawa Timur 2005 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur, tentang KTSP melalui Workshop MGMP Geografi Tingkat Jawa Timur yang diselenggarakan oleh P3G IPS dan PMP (kini P4TK IPS dan PKn) Malang 2006, Bintek KTSP Tingkat Kabupaten Malang yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Malang 2007, Diklat Sertifikasi Guru yang diselenggarakan oleh BPSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang 2008, Workshop Peningkatan Kompetensi Guru Tingkat Kabupaten Malang yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Malang 2008; di samping juga pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh MKKS SMA Negeri Kabupaten Malang dan MGMP Lintas Matapelajaran Kabupaten Malang.

Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang dikembangkan dalam KTSP 2006 ini merupakan penyempurnaan dari Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) yang pernah diterapkan pada Kurikulum 2004 (KBK). Penyusunan KKM ini berikutnya bersumber dari materi-materi yang saya peroleh dari berbagai kegiatan tersebut di atas. Kemudian, setelah workshop yang dilaksanakan 2—5 Nopember 2009 lalu, ternyata masih ada beberapa teman yang membutuhkan materi tersebut. Lantaran hal itu, maka saya berkeputusan untuk memasukkan materi KKM itu ke dalam blog nuansa masel, dengan harapan apabila ada rekan-rekan guru yang membutuhkan tinggal mengklik dan mengambilnya. Muaranya rekan-rekan guru dapat segera menyusun KKM matapelajaran yang diajarkannya pada setiap menjelang/awal semester, atau bahkan pada setiap awal tahun pembelajaran. Hakekatnya menyusun KKM ini relatif mudah, walaupun ada yang lebih mudah, yakni tinggal mengucapkan/menuliskan (dengan perkiraan kasar) tanpa harus bersusah payah melakukan tahapan-tahapan penentuan KKM. Misalnya matapelajaran A, KKMnya 75. Namun hal tersebut apakah sudah sesuai dengan kondisi obyektif yang ada di sekolah?
Pada kesempatan ini saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Supa’at, M.Hum., M.Si selaku Kepala SMA Negeri 1 Pagak serta Bapak Drs. Teguh Pramono dkk selaku panitia workshop yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk menyusun dan menyajikan KKM ini.

Pengertian KKM
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah tingkat pencapaian kompetensi dasar yang harus diperoleh siswa per matapelajaran. Berikutnya KKM ini dinyatakan dalam bentuk angka puluhan dan berupa bilangan bulat. Misalnya 65, 70, 75, 78, dsb. Jadi siswa sudah dinyatakan tuntas dalam suatu kompetensi dasar (KD) atau dalam suatu standar kompetensi (SK) atau bahkan suatu matapelajaran (MP), jika siswa tersebut telah memperoleh nilai minimal sesuai KKM yang ditetapkan. Kalau KKM matapelajaran A adalah 75, maka siswa yang dinyatakan tuntas apabila minimal telah memperoleh 75. Sedang siswa yang belum mencapai nilai KKM, misalnya 70, maka siswa tersebut dinyatakan belum tuntas. Siswa yang belum tuntas harus diberi pengulangan atau diberi remidi pada materi yang belum tuntas tadi.

Tujuan Penentuan KKM
Ada dua tujuan utama dalam penentuan KKM, yaitu:
1. Menentukan target kompetensi yang harus dicapai siswa.
2. Sebagai acuan untuk menentukan kompeten atau tidak kompetennya siswa dalam suatu
matapelajaran.

Manfaat Penentuan KKM
Manfaat yang diperoleh dalam penentuan KKM ini adalah:
1. Sekolah, guru, dan siswa memiliki ukuran/patokan yang jelas dalam menentukan
ketuntasan belajar.
2. Adanya keseragaman batas KKM setiap matapelajaran pada setiap kelas paralel,
walaupun guru yang mengajar matapelajaran tersebut lebih dari satu orang.

Langkah-langkah Penentuan KKM
KKM Indikator--KKM KD--KKM SK--KKM MP

Urut-urutan yang harus dilakukan dalam penentuan KKM adalah:
1. Menentukan KKM indikator pada suatu kompetensi dasar (KD) yang ada pada silabus
masing-masing matapelajaran. Misalnya matapelajaran (MP) A pada KD 1.1 dalam
silabus terdapat 10 indikator, maka langkah pertama yang dilakukan adalah
menentukan KKM pada setiap indikator tersebut, satu per satu sampai 10 indikator
tersebut telah memiliki KKM. Cara menentukan KKM indikator yaitu dengan
menjumlahkan ketiga kriteria KKM dibagi tiga. Misalnya jumlah ketiga kriteria
KKM adalah 225, maka KKM indikator yang dimaksud adalah 225 : 3 = 75
2. Menentukan KKM kompetensi dasar (KD) diperoleh dari penjumlahan KKM indikator
dibagi jumlah indikator. Misalnya MP A pada KD 1.1 terdapat 10 indikator. Jumlah
KKM dari seluruh indikator, misalnya 750. Jadi KKM KD 1.1 adalah 750 : 10 = 75.
3. Langkah berikutnya adalah menentukan KKM standar kompetensi (SK) dengan jalan
menjumlahkan KKM seluruh KD dibagai jumlah KD. Misalnya MP A pada SK 1 memiliki 4
KD dan jumlah KKM seluruh KD adalah 350. Jadi KKM SK 1 tersebut adalah 350 : 4 =
87,5.
4. Menetapkan KKM matapelajaran (MP) ditempuh dengan jalan menjumlahkan KKM SK pada
suatu semester dibagi jumlah SK pada suatu semester itu. Misalnya ada dua SK.
Jadi KKM MP tersebut pada semester tertentu adalah 158 : 2 = 79.

Unsur-unsur dalam KKM
1. Kompleksitas (tingkat kesulitan)
Tingkat kompleksitas merupakan tingkat kerumitan dari SK, KD, dan indiktor.
Tingkat Kompleksitas dikatakan tinggi jika materi pelajaran yang dimaksud dalam
SK, KD, dan indikator sangat sulit dan dalam pelaksanaanya menuntut:
- Kemampuan sumberdaya manusia dalam memahami kompetensi yang harus dicapai siswa,
di samping juga diperlukan usaha kreatif dan inovatif dalam melaksanakan
pembelajaran.
- Waktu yang cukup lama karena perlu pengulangan dalam pembahasan materi
pelajaran.
- Penalaran dan kecermatan siswa yang tinggi.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat kompleksitas, maka semakin mudah materi
pelajaran yang terkandung dalam SK, KD, dan indikator tersebut.
Rentangan tingkat kompleksitas:
50 — 65 = tinggi
66 — 80 = sedang
81 —100 = rendah

2. Daya dukung
Daya dukung adalah faktor-faktor yang mendukung dalam proses pembelajaran,
meliputi:
- Latar belakang guru
Latar belakang guru merupakan salah satu faktor penting dalam daya dukung. Latar
belakang guru dikatakan memiliki daya dukung yang tinggi apabila guru yang
dimaksud memiliki kemampuan mengajar suatu matapelajaran sesuai jurusan/lulusan
yang tercantum dalam ijazanya dan sesuai tingkatan pendidikannya. Misalnya guru
matapelajaran Biologi SMA berlatarbelakang lulusan pendidikan Biologi minimal
program S1/D4.
- Sarana dan prasarana yang menunjang proses pembelajaran
Sarana dan prasarana yang menunjang proses pembelajaran ini dikatakan memiliki
daya dukung yang tinggi, apabila:
- Tersedia/memiliki gedung/kelas untuk melaksanakan proses pembelajaran, bahkan
memiliki laboratorium atau yang sejenisnya, misalnya lapangan olahraga untuk
matapelajaran Penjaskes, mushalla/masjid/tempat ibadah untuk Pendidikan Agama.
- Memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang mencukupi kebutuhan siswa.
- Setiap siswa memiliki buku pelajaran dan sumber belajar lainnya. Demikian
pula halnya dengan guru. Jumlah buku rujukan yang dimiliki guru juga ikut
berpengaruh.
- Memiliki ketercukupan media pembelajaran/alat peraga, bahkan memiliki
jaringan internet.
- Manajemen sekolah
Manajemen sekolah dikatakan memiliki daya dukung yang tinggi apabila sekolah
tersebut telah mengembangkan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), yaitu sekolah yang telah memberdayakan segenap potensi sekolah.
Potensi sekolah itu meliputi kepala sekolah, guru, staf tata usaha, pesuruh dan
penjaga sekolah, serta sarana dan prasarana yang ada.
- Stake holder
Stake holder adalah penopang keberlangsungan sekolah dan proses pembelajaran
yang berlangsung. Stake holder dikatakan memiliki daya dukung yang tinggi
apabila Komite Sekolah dan orangtua/wali murid memiliki komitmen yang tinggi
dalam mendukung terwujudnya proses pembelajaran, serta adanya jaringan
kerjasama dengan pihak lain.
Rentangan untuk daya dukung:
55 — 69 = rendah
70 — 84 = sedang
85 —100 = tinggi

3. Intake siswa
Intake siswa merupakan tingkat kemampuan siswa, diwujudkan dengan prestasi siswa
(berupa nilai) yang diprediksikan mampu untuk menyelesaikan materi pembelajaran
yang terkandung dalam indikator, KD, dan SK.
- Penentuan KKM untuk semester1 yang mendasarkan pada intake siswa bisa diambil
dari:
a. Nilai ijazah (Nilai Ujian Nasional murni) bagi siswa baru, kelas X.
b. Hasil penilaian awal ketika tes masuk atau ketika Masa Orientasi Siswa (MOS)
bagi siswa baru, kelas X.
c. Gabungan dari a dan b bagi siswa baru, kelas X.
d. Nilai raport (Laporan Hasil Belajar Siswa) kenaikan kelas bagi siswa kelas
XI dan kelas XII.
e. Nilai asli dari Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) bagi siswa kelas XI dan XII.
- Penentuan KKM untuk semester 2 yang mendasarkan pada intake siswa bisa diambil
dari:
a. Nilai raport (Laporan Hasil Belajar Siswa) semester 1 pada semua kelas.
b. Nilai hasil Ulangan Akhir Semester (UAS).
Rentangan untuk intake siswa:
40 — 59 = rendah
60 — 79 = sedang
80 —100 = tinggi

Penentuan KKM di samping menggunakan cara tersebut di atas, ada juga bentuk lain
yang bisa dipakai. Bentuk lain tersebut menggunakan angka satuan. Bentuk tersebut
adalah:
1. Kompleksitas:
- Tinggi = 1
- Sedang = 2
- Rendah = 3
2. Daya dukung:
- Tinggi = 3
- Sedang = 2
- Rendah = 1
3. Intake siswa:
- Tinggi = 3
- Sedang = 2
- Rendah = 1

Jika kita menggunakan bentuk ini dalam menetapkan KKM, maka misalnya suatu indikator memiliki kriteria: kompleksitas tinggi, daya dukung sedang, dan intake siswa sedang--rumus nilai KKM-nya adalah:
kompleksitas (tinggi) + daya dukung (sedang) + intake siswa (sedang) : 9 x 100.
Dengan demikian KKM indikator yang dimaksud adalah: 1 + 2 + 2 : 9 x 100 = 55,56 dibulatkan menjadi 56. Ingat, angka KKM dinyatakan dalam bilangan bulat.Bila angka di belakang koma < 0,5 dibulatkan ke bawah, sedang > 0,5 dibulatkan ke atas.


oleh : Ahmad Fikri, Trainer Makmal Pendidikan
Ada sebuah hal menarik dalam dunia pendidikan kita. Dengan diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi banyak hal baru yang harus diamati oleh para guru. Kurikulum baru ini,intinya memuat seperangkat target pencapaian yang harus dimiliki setiap anak sesuai dengan jenjang/kelasnya. Targetan tersebut lebih di kenal dengan istilah standar kompetensi (SK). Standar kompetensi ini kemudian diurai kembali menjadi target-target minimal dalam bentuk kompetensi dasar (KD). SK dan KD inilah yang membedakan kurikulum sebelumnya dengan kurikulum terbaru (2006) yang sebelumnya diuji cobakan pada tahun 2004 yang lalu.

Perbedaan mendasar ini, kemudian memicu kita para guru untuk melakukan penilaian yang mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan oleh kurikulum melalui SK dan KD tadi. Sebelumnya para guru lebih sering menggunakan penilaian acuan norma (PAN). Di mana penilaian didasarkan pada keberadaan siswa di dalam kelas, siswa A dibanding-bandingkan dengan siswa B dan rata-rata kelas. Contoh, si A mendapat nilai 8 sementara si B mendapat nilai 9, maka dengan serta merta si A dianggap tidak lebih pintar daripada si B. contoh lain, si C mendapat nilai 5 sementara teman-temannya yang lain mendapatkan nilai di bawahnya. Biasanya si C dianggap yang paling pintar dibandingkan dengan teman-temannya.
Sementara dalam penilaian acuan kriteria, setiap anak hanya dapat dibandingkan dengan SK atau KD. Jika dalam KD menyatakan bahwa seorang siswa harus mampu menuliskan sebuah kalimat dengan menggunakan huruf besar dan tanda baca, maka siapun yang telah mampu memenuhi kriteria tersebut dinyatakan kompeten atau lulus mencapai KD yang dimaksud, tanpa harus membanding-bandingkan bagus-tidaknya tulisan tiap-tiap anak.
Pengalaman Dalam Pelatihan
Telah banyak penjelasan seputar PAN dan PAK dan pada tulisan kali ini kami ingin sharing berdasarkan pengalaman dalam beberapa kesempatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Makmal Pendidikan, ternyata tak memudah untuk “menggiring” para guru beralih dari model penilaian acuan norma menjadi penilaian acuan kriteria. Dalam pelatihan tersebut kami sodorkan sebuah hasil mengarang siswa A kelas 1 yang menurut ukuran umum cukup bagus, kemudian kami minta para guru memberikan nilai. Setelah itu kami sodorkan kembali hasil mengarang siswa B yang -masih- menurut ukuran umum sangat bagus,selanjutnya para gurupun memberikan nilai kembali.
Kamipun melakukan survey, berapa nilai rata-rata yang diberikan untuk siswa A dan berapa untuk siswa B.hasilsurvey menyatakan bahwa para guru terbagi dalam 3 kelompok nilai. Kelompok pertam memberikan nilai yang “jomplang”. Nilai A sangat rendah sementara B sangat tinggi. kelompok ke dua, relatif sama dalam memberikan nilai kepada A dan B, 6 dan 8 atau7.5 dan 9,sementara kelompok ke tiga, memberikan nilai yang sama tinggi, 9 dan 9, bahkan ada yang 10 dan 10.
Alasan kelompok pertama bahwa, “sekilas” nampak gambar dan tulisan siswa B jauh lebih baik dibandingkan siswa A. Alasan kelompok kedua, menyatakan bahwa, mengingat siswa A dan B baru kelas satu dan secara umum karangan keduanya terlihat baik maka wajar kalau kelompok ini memberikan nilai relatif sama bagi ke duanya. Kelompok terakhir menyatakan bahwa ketika memberikan nilai pada siswa A, mereka merasa sangat layak menulis angka 9 atau 10,namun ketika disodorkan hasilkarangan siswa B yang ternyata lebih baik dari siswa A, namun tak ada pilihan lain kecuali memberikan nilai sempurna,kesimpulan mereka siswa A dan B sama-sama sangat baik di bandingkan siswa kelas satu kebanyakan.
Dari beberapa alasan di atas, nampak jelas bahwa ketiga kelompok tersebut memiliki kesamaan dalam memberikan nilai pada siswa A da B, yaitu masih menggunakan acuan norma.
Acuan norma ini lebih bersifat relatif,sehingga dapat mengakibatkan guru A punya cara pandang yang berbeda dengan guru B dalam memberikan nilai. yang juga dapat berakibat pada “dugaan” pilih kasih. bagi para orang tua siswa-pun hal semacam ini dapat meresahkan. guru A dapat dianggap lebih “murah” nilai dibanding guru B yang “pelit”
Setelah mereka memahami kenapa hal tersebut bisa terjadi, mereka mulai dapat menerima, bahwa sangat penting untuk menggunakan sebuah acuan kriteria yang disederhanakan dalam sebuah rubrik atau instrumen penilaian. Agar tidak terjebak pada hal-hal yang menjurus pada “main tebak-tebakan” berdasarkan asumsi-asumsi yang tak mendasar.
Dengan menggunakan kriteria penilaian yang standar, maka siapapun gurunya akan memiliki cara pandang yang sama dalam memberikan nilai. Agar terjadi kesepahaman antar guru,sebaiknya kriteria dalam bentuk rubrik-rukrik atau instrumen penilaian dihasilkan dari diskusi antar guru.

                        STANDAR PENILAIAN


Salah satu isi dari standar penilaian adalah metode yang digunakan dalam menilai hasil belajar siswa. Secara umum ada dua metoda/ acuan yang digunakan untuk melihat hasil belajar siswa yaitu penilaian acuan norma dan penilaian acuan patokan
Apabila kita melakukan pengukuran atau penilaian berarti kita membandingkan . Dalam membandingkan berarti membutuhkan pembanding. Dalam dunia pendidikan ada dua pendekatan yang digunakan sebagai pembanding, yaitu penilaian acuan norma atau PAN (norm referenced evaluation) dan penilaian acuan patokan.atau PAP (criterion refrenced evaluation)

a.. Penilaian Acuan Norma (PAN)
Penilaian acuan norma adalah penilaian yang dilakukan dengan membandingkan hasil belajar seorang siswa dengan siswa lainnya dalam suatu kelas. Penilaian jenis ini bersipat relatif karena yang dipakai relative atau tergantung tingkat kemampuan kelas secara keseluruhan ,yaitu angka rata- rata dan simpangan baku kurva penyebaran kelas tersebut. Nilai yang sama dari kelas yang berbeda memiliki arti yang berbeda.
Maksud dari penjelasan diatas adalah misalkan dalam suatu kelas ada sekelompok pelajar pandai sekali ,maka dengan pendekatan PAN selalu saja ada siswa yang mendapatkan nilai rendah walaupun kemampuan mereka cukup memuaskan dan selalu ada siswa yang mendapat nilai dibawah rata-rata. Apabila tingkat kemampuan sekelompok pelajar secara keseluruhan rendah maka dengan pendekatan PAN , siswa dengan kemampuan rendah dapat saja memproleh nilai yang memuaskan atau lulus bila ia berada diatas rata – rata.
Berikut ini adalah contoh tabel penilaian acuan norma

Banyaknya pelajar Nilai
10 % teratas
20% dibawahnya
40% dibawanya
20% dibawahnya lagi
10% terbawah A
B
C
D
E

Setelah angka mentah terkumpul ,maka disusun dalam table penyebaran lalu ditentukan banyaknya pelajar yang akan diberi nilai tertentu.
Pedoman seperti diatas ditetapkan oleh universitas atau institute pendidikan bersangkutan ,atau oleh laboratorium bila ditentukan secara umum.

b. Penilaian acuan patokan (PAP)
Apabila seorang pelajar atau panitia evaluasi yang menganggap bahwa pelajar harus mempunyai suatu tingkat kemampuan tertentu dan evaluasi dilakukan sesuai dengan patokan yang telah ditentukan ,maka kita memakai PAP. Patokan atau batas lulus itu dikatakan absolute karena telah ditetapkan sebelum penilaian atau evaluasi dilaksanaan.
Patokan ini dapat dipakai untuk kelompok pelajar yang berbeda – beda yang mendapat pengalaman belajar yang sama. Dengan PAP , nilai yang diperoleh dari waktu kewaktu dalam kelompok yang sama atau kelompok yang berbeda ,mempunyai arti yang sama. Menetapkan patokan yang benar – benar tuntas sangat sulit dilakukan dan penetapan batas lulus merupakan hal yang pokok dalam PAP.Sebelum pelajaran dimulai ,pelajar harus telah menentukan batas kompetensi minimum dan maksimum yang harus tercapai. Dan nilai akhir ditentukan berdasarkan seberapa jauh pelajar menguasai kompetensi minimum itu. Berikut ini merupakan contoh penilaian acuan patokan .

Tabel . 1.4 : Penilaian acuan patokan (PAP)
( Ditjen Pendidikan Tinggi , Dep.P dan K, 1980)

Derajat penguasaan Nilai akhir
90% - 100%
80% - 89%
65% - 79 %
55% - 64%
Kurang dari 55% A
B
C
D
E

Penggunaan pedoman ini sangat mudah dan tidak perlu perhitungan statistik. Jika kompetensi atau batas lulus yang harus dicapai oleh pelajar telah ditetapkan dengan tuntas dan jika penilaian dan pengukuran yang akan dipakai memang betul – betul dapat mengukur taraf kemampuan penguasaan kompetensi yang diharuskan itu, maka angka mentah yang telah dikonversikan ke angka 0 – 100 dapat langsung diberi nilai huruf sesuai dengan pedoman.

MASALAH – MASALAH POKOK DALAM PENILAIAN PENDIDIKAN


Sampai dengan tahun 70-an para pengajar atau para instruktur menghadapi hal penilaian dan pengukuran pendidikan tidak secara sungguh – sungguh. Pendididkan dibiarkan berdiri sendiri dan tidak ada tuntutan untuk disusun suatu evaluasi yang memenuhi syarat secara alamiah. Hal ini mungkin karena kesukaran tertentu ,antara lain:
1. Tidak adanya konsep kerangka evaluasi yang cocok.
2. Pada umumnya tidak ada penetapan tujuan pendidikan yang tepat
3. Kesukaran – kesukaran yang biasanya terdapat dalam semua bentuk pengukuran pendidikan.
4. Sistem pendidikan yang kurang memungkinkan suatu penanganan evaluasi yang baik

Cara evaluasi tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Evaluasi berarti berusaha menentukan seberapa jauh tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh para pengajar . Bila tidak ada patokan dalam pengukuran, maka sukar untuk melakukan evaluasi yang sesuai. Mungkin hanya tergantung pada perkiraan atau selera pengajar..
Dalam melakukan penilaian, ranah kognitif merupakan yang paling mudah untuk mudah untuk dinilai tujuannya sehingga banyak alat ukur yang dapat dikembangkan.