PENDAHULUAN
Anak merupakan anugerah terbesar
bagi setiap pasangan suami istri. Anak merupakan bukti sekaligus pengikat cinta
kasih, tujuan dari kehidupan orang tua, dan tempat harapan disematkan. Oleh
karena itu, sangat wajar apabila setiap orang
tua berharap anaknya lahir tumbuh kembang sebagai anak yang sehat dan pintar.
Anak lahir atau tumbuh dengan
kondisi dan kemampuan yang berbeda dengan anak kebanyakan, dalam arti memiliki
keterbatasan. Laporan WHO (2007)
menyebutkan, anak-anak dengan keterbatasan ini jumlahnya diperkirakan mencapai 7% dari populasi anak,
dan 85% darinya berada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan tahun 2001, anak-anak itu mempunyai prevalansi disabilitas (angka
kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk.
Kesempatan pendidikan yang diberikan bagi
mereka sangat sangatlah terbatas. Perlakuan khusus yang tentu memerlukan biaya
besar membuat akses pendidikan yang memadai bagi mereka tidak terjangkau oleh
para orang tua. Sayangnya penyebaran kecacatan lebih banyak
terjadi pada menengah bawah akibat rendahnya asupan gizi dan pengetahuan
kesehatan. Sedangkan pendidikan khusus semacam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diadakan pemerintah cenderung ala kadarnya dalam pengelolaan akibat
rendahnya dana subsidi pemerintah.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan
tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis,
sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
A.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana
pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus (cacat)?
2.
Apa
pengertian pendidikan inklusi
B.
tujuan makalah
1.
mengetahui
pendidikan bagi anak yang mempunya kebutuhan khusus (cacat)
2.
mengerti
apa yang disebut pendidikan inklusi
PEMBAHASAN
A.
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
Sejarah mencatat, diawali saat
mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak
mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya
harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah
khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa
memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak
tersebut. Beberapa di antara sekolah atau pun rumah-rumah tersebut hanya
menyediakan akomodasi yang sangat minim, meskipun ada pula yang dilengkapi dengan fasilitas
lebih dari memadai yang terletak di daerah yang indah. Namun tempat-tempat ini
sering terisolasi dan tersembunyi dari pandangan masyarakat umum.
Pada tanggal 30 Maret 2007 lalu, pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, bersama lebih
dari 80 negara lain, menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan
Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection
and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities).
Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang
cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban negara untuk mewujudkannya.
Banyak masalah ternyata timbul
dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini. Itu semua membuat anak-anak menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang,
internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil
dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan
mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan
mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.
Yang menjadi masalah terbesar adalah pendekatan segregasi
yang berpusat pada institusi (Institution Based Rehabilitation) tidak
mampu menjangkau lebih dari 5% populasi anak berkebutuhan khusus. Faktor biaya
tinggi dan kesulitan orang tua memenuhinya menjadi alasan banyak orang tua
tidak memilih memasukkan anaknya ke sekolah khusus ini.
Masalah lainnya lahir sebagai
dampak dari titik pandang dimana anak-anak ini dilihat sebagai anak yang
berkekurangan dan terbatas kemampuannya. Sehingga dasar intervensi adalah bagaimana menutupi
kekurangan anak yang selamanya memang tidak akan mungkin tertutupi karena
memang terbatas. Sebagai contoh seringkali intervensi terhadap anak-anak tuna
netra ditekankan pada bagaimana sedapat mungkin anak ini bisa membaca huruf
braille. Itu dilakukan agar ia bisa belajar sebagaimana anak yang
bisa melihat dan kemudian dibekali ketrampilan pijat sebagai ketrampilan yang
dirasa masih bisa dimiliki anak-anak ini. Cara ini memandang sebelah mata
potensi dan minat nyata anak itu
sendiri. Cara pandang yang lebih
fokus pada keterbatasan anak dan tidak menghargai potensi positif anak ini pada
akhirnya gagal memberdayakan anak.
Banyaknya masalah yang terjadi
pada model intervensi segregasi membawa pada pemikiran tentang perubahan
paradigma, kesadaran, arah tujuan, serta metode. Perubahan paling mendasar
adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya “keragaman
dan hak
setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain”. Hal ini juga menghasilkan
upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya
telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena
mereka berbeda.
B.
Paradigma inklusi dengan pendekatn social needs
education
Melalui konsep ini, bukan anak
menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan
menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually
adjusted education) termasuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus. Untuk ini diperlukan kemauan mengubah dan menyesuaikan
sistem, lingkungan, aktivitas serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang dan
dalam hal ini dipersyaratkan
fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas dari konsep pendidikan itu
sendiri.
Salah satu yang patut dihargai dlam program yang dicanangkan sekarang adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak
berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain
sebayanya, tidak harus di SLB. Namun demikian, masih banyak masalah ataupun
kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya
sistem assessment anak berkebutuhan
khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka
dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu
memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak
berkebutuhan khsusus (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di
potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik,
secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak
berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari
pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.
Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha
telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional.
Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak
berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan
keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi
guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping
Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan
menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah
kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri,
bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum
seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”,
terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam
ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat
pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya
tidak terpenuhi.
Sering alasan yang dikemukakan
adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat
karena keengganan untuk repot. Padahal alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika
menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak
negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum pendidikan yang menghargai dan
berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains,
humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang
mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing.
Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Pendidikan inklusi membutuhkan
kurikulum yang sensitif dan luwes. Sebuah kurikulum pendidikan yang menghargai
dan berusaha mengembangkan potensi setiap siswa sepenuhnya (special needs
education). Diawali dengan penyediaan beragam aktifitas dan fasilitas untuk
eksplorasi potensi dan minat anak untuk kemudian selanjutnya memberikan
pengajaran yang mengarahkan pada pengembangan potensi. Sehingga anak akan cukup memiliki harga diri
karena memiliki sebuah kemampuan. Harapannya, anak bisa mandiri dengan kemampuan yang ia milikinya kelak.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa
dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan,
optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk
hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga
harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana
hasil.
Melalui
pendekatan inklusi, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan,
melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually
adjusted education) termasuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus.
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah mencatat, diawali saat
mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak
mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya
harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah
khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa
memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak
tersebut.
Banyak masalah ternyata timbul
dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini. Itu semua membuat anak-anak menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang,
internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil
dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan
mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan
mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.
Melalui konsep ini, bukan anak menyesuaikan
dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan
kebutuhan tiap anak (individually
adjusted education) termasuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa
dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan,
optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk
hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga
harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana
hasil.
0 komentar:
Posting Komentar